A. Konsep Dasar
I. 1. Pengertian Paraplegia
Paraplegia yaitu akibat lesi yang
mengenai lumbal torakal atau bagian sokral medula spinalis dengan disfungsi
ekstremitas bawah defekasi dan berkemih.
Paraplegia yaitu penderita cedera
pada medula spinalis torakal, lumbal dan sokral (Prico, 1995 : 1021).
2.
Anatomi dan Fisiologi
a.
Anatomi
Yang disebut tulang belakang di dalam
tubuih kita yaitu susunan tulang yang terbentang dari ruas tulang leher pertama
(C1) hingga tulang ekor ke-4 (C4). Tulang-tulang tersebut
terdiri dari kelompok ruas tulang yang terbagi menjadi :
-
7 buah tulang servikal
-
12 buah tulang torakal
-
5 buah tulang lumbal
-
5 buah tulang sokral
-
4 buah tulang koksigues.
b.
Fisiologi
Lesi medula spinalis diklasifikasikan
sebagai :
1.
Lesi komplit : yaitu
kehilangan sensasi dan fungsi mekanik volunter total.
2.
Lesi tidak komplit : yaitu
kehilangan sensai dan fungsi mekanik volunter.
Mekanisme cedera pada daerah ini
umumnya merupakan cedera freksi akibat terjatuh pada bagian bokong atau cedera
hiperekstensi dimana keduanya menyebabkan fraktur kompresi :
Untuk membuat korpus vertebra
torakalis mengalami fraktur diperlukan suatu pukulan langsung yang kuat,
kecuali jika sebelumnya vertebra memang sudah rapuh karena diserang oleh
osteoporosis atau neoplasma.
Temuan fisik akan bervariasi,
tergantung pada tingkat cedera, derajat syok spinal dan fase serta derajat
pemeriksaan :
C1-3 : Kehilangan
fungsi pernapasan/sistem muskuloskletal.
C4-5 : Dengan
kerusakan menurunya kapasitas paru ketergantungan total terhadap aktivitas
sehari-hari.
C6-7 : Dengan
beberapa gerakan tangan dan lengan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari.
C8 : Keterbatasan
menggunakan jari tangan. Meningkatkan kemandiriannya.
C1-L1
: Paraplegia
dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dan otot intercostal dan abdomen masih
baik.
L1-2 : dan/atau
dibawahnya : kehilangan fungsi motorik dan sensorik. Kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih.
II. Cedera Medula Spinalis
1.
Pengertian Cedera Medula
Spinalis
Cedera medula spinalis sekunder
terjadi karena gerakan kolumno vertebralis yang tidak stabil : cedera yang
terjadi adalah akibat gerakan medula spinalis terhadap fragmen tulang tajam
yang menonjol dalam kanalis vertebralis dan akibat tekanan yang terus menerus
pada medula spinalis (Price, 1995 : 1020).
2.
Etiologi
a.
Kongenital
b.
Infeksius
c.
Trauma
d.
Vaskular
e.
Idiopatik
f.
Degeneratif
3.
Patofisiologi
Kolumna vertebralis merupakan cincin
tulang sirkumferensial yang memberi perlindungan ideal terhadap luka tembus dan
kontusio kecepatan rendah, tetapi sendi-sendi intervertebralis merupakan titik
lemah gerakan fleksi ekstensi atau beban rotasi. Menurut (Scwartz, 1989),
dislokasi dan fraktur yang tidak mematahkan cincin vertebralis, masih memungkinkan
vertebra di atas dan di bawah tempat cedera bertindak sebagai titik pengungkit
bagi vertebra dan menyebabkan jaringan lunak yang berdekatan mengalami
konkusio, teregang, kontusio atau gangguan medula spinalis.
Beban fleksi, ekstensi dan rotasi
bersama dengan kelemahan relatif sendi-sendi vertebra, menyebabkan fraktur dan
dislokasi seringkali terjadi pada titik pertemuan antara bagian kolumna
vertebralis yang relatif mobil dengan ruas yang relatif terfiksasi, yaitu
antara daerah servikal bawah dan segmen lumbal atas; dan antara segmen lumbal
bawah dan sakrum (Schwartz,1989).
Bagan Patofisiologi Paraplegia dan Ulkus Dekubitus Akibat Cedera
Medula Spinalis
Sirkulasi darah ke substansia
grisea medula spinalis terganggu
Menyebabkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi hemoragi
Kerusakan mielin dan
akson
Tubuh berada pada suatu gradien
Tekanan immobilisasi
yang lama
Jaringan otot, suplai darah bergeser ke arah yang lebih rendah
Friksi meningkat
Terjadi kelembaban
pada kulit
Pada daerah yang
mengalami tekanan menyebabkan peregangan dan mikrosirkulasi
Terjadi iskemia pada
jaringan
Berlanjut ke nekrosis pada kulit
Dikembangkan dari Smeltzer (2001) dan Nancy (2002)
4.
Manifestasi Klinis
-
Gangguan fungsi motorik dan
sensorik ekstremitas
-
Gangguan fungsi bladder dan
bowel
-
Gangguan fungsi seksual
-
Gangguan peredaran darah di
bawah
Perubahan primer yang terjadi
setelah cedera medula spinalis adalah perdarahan kecil dalam substansia glisea
akibat berkurangnya aliran darah medula spinalis dan hipoksia yang diikuti oleh
edema. Hipoksia substansia grisea merangsang pelepasan katekolamin yang mendukung
perdarahan dan nekrosis dan menyebabkan disfungsi medula spinalis lebih lanjut.
Apabila medula spinalis putus
total, dua bencana fungsional akan terlihat :
(1)
Semua aktifitas voluntar pada
bagian tubuh yang dipersarafi oleh segmen-segmen medula spinalis tersebut akan
hilang selamanya.
(2)
Semua sensasi yang tergantung
pada integritas lintasan asendens medula spinalis akan hilang.
(Price, 1995 : 1020)
5.
Komplikasi
Pada klien yang tirah baring lama
dapat menimbulkan gangguan sistem ke dalam tubuh, antara lain :
a.
Sistem gastrointestinal
-
Sel-sel tubuh malas (aktifitas
berkurang)
-
Sekresi menurun
b.
Sistem urinari
- sistem pembentukan urin lambat
sampai ke blass. Oleh karena tidak ada gerakan gravitasi sehingga kristal
menumpuk (batu) apalagi kalau terjadi renal kalkuli.
c.
Sistem Integumen
-
Tekanan arteri 35 mmHg bila
> 35 akan menimbulkan hambatan pembuluh darah balik.
-
Arteri tidak mendapat suplai O2
maka metabolisme terganggu sehingga timbul iskemik menjadi nekrosis maka akan
terjadi dekubitus. Klasifikasi ada 4 grade :
1.
Grade I terbatas di kulit
2.
Grade II subkutis
3.
Grade III otot
4.
Grade IV tulang
Lokasi tergantung dari posisi tidur, daerah yang mudah
mendapat dekubitus.
-
Head, skapula, elbow,
trokanter, ischias, crista iliaka, sakrum tibia.
6.
Pemeriksaan Diagnostik
-
Sinar X spinal : menentukan
lokasi dan jenis cedera
-
CT-Scan : menentukan
tempat luka/jejas
-
MRI : mengidentifikasi
adanya kerusakan saraf spinal edema dan kompresi
-
Mielography : memperlihatkan
kolumna spinal (kana vertebra) jika faktor patofis tidak jelas atau dicurigai
adanya oklusi pada ruang subarachnoid medula spinalis.
-
Foto Rontgen : memperlihatkan
keadaan paru
-
DGA : menunjukkan
keefektifan pertukasan gas atau upaya ventilasi.
7.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sebelum penderita
masuk RS harus dilakukan seolah-olah penderita ini mengalami cedera medula
spinalis.
Penderita dengan cedera setinggi C4
atau lebih tinggi tidak dapat bernapas spontan. Perasat jaw thrust dirancang
untuk memperkecil gerakan leher sewaktu dilakukan resusitasi. Prioritas
utamanya adalah mengadakan jalan udara yang efektif.penderita lebih besar
terhadap komplikasi sirkulasi yang diakibatkan oleh sistem saraf simpatik.
Immobilitas medula spinalis merupakan tindakan penting untuk mengurangi resiko
kerusakan lebih lanjut.
Untuk mengatasi edema adalah dengan
pendinginan ruang intratekal dengan larutan salin normal. Pengobatan primer
pada cedera servikalis adalah reduksi dan stabilisasi fraktur.
B. Asuhan Keperawatan Klien dengan Paraplegia dan Cidera Medula Spinalis
I. Pengkajian
1.
Identitas klien
2.
Riwayat perawatan
3.
Observasi dan pemeriksaan fisik
a.
Aktifitas/istirahat : Kelumpuhan,
kelemahan umum.
b.
Sirkulasi : Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau
bergerak.
c.
Eliminasi : Inkontinensia defekasi dan berkemih.
d.
Integritas ego : Menyangkal, tidak percaya, sedih,
marah, cemas.
e.
Makanan/cairan : Distensi
abdomen, peristaltik usus hilang.
f.
Neurosensori : Kebas,
kesemutan, kehilangan sensori.
g.
Nyeri/kenyamanan : Nyeri,
tekanan otot mengalami deformitas postur, nyeri tekan verbal.
h.
Pernapasan : Dangkal,
bunyi napas; ronki, pucat, sianosis suhu yang berfluktuatif.
i.
Seksualitas : Ereksi
tidak terkendali.
II. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1.
Resiko tinggi terhadap pola
napas tak efektif
Intervensi :
a.
Pertahankan jalan nafas,
tinggikan sedikit kepala TT
R/ : Trauma
servikal bagian atas dan gangguan muntah, batuk akan membutuhkan bantuan
mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan keluar.
b.
Penghisapan bila perlu
R/ : Reflek
batuk tidak ada jadi batuk tidak efektif. Penghisapan dibutuhkan untuk membuang
lendir.
c.
Kaji fungsi pernapasan
d.
Auskultasi
2.
Resiko tinggi terhadap trauma
(cidera spiral tambahan)
Intervensi :
a.
Pertahankan tirah baring dan
alat-alat nmobilisasi
R/ : Menjaga
kelestarian kolumna vertebralis dan membantu proses penyembuhan.
b.
Periksa alat-alat untuk
meyakinkan bahwa aman
c.
Periksa pemberat untuk menarik
troksi.
3.
Kerusakan mobilitas fisik
berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, mobilisasi dan troksi
Intervensi :
a.
Kaji fungsi motorik
R/ : Mengevaluasi
keadaan secara umum
b.
Berikan suatu alat agar pasien
mampu menerima pertolongan
R/ : Pasien
memiliki rasa aman dan dapat mengatur diri sendiri.
c.
Bantu latihan ROM pada semua
ekstremitas
4.
Perubahan sensori-persepsi
berhubungan dengan traktus sensori, transmisi integrasi penurunan rangsang
lingkungan, stress psikologis.
Intervensi :
a.
Kaji fungsi sensori
R/ : Mendokumentasikan
perubahan yang terjadi.
b.
Lindungi dari bahaya tubuh
R/ : Pasien
tidak merasa nyeri atau tidak sadar tentang posisi tubuh.
c.
Berikan rangsangan toksil,
seluruh pasien pada area dengan sensori sentuh.
d.
Perhatikan adanya respon
emosional berlebihan.
5.
Antisipasi berduka berhubungan
dengan kehilangan yang dirasakan/ aktual tentang kesejahteraan fisik
psikologisnya.
Intervensi :
a.
Identifikasi tanda-tanda
berduka
R/ : Mengalami
banyak reaksi emosional terhadap cedera.
b.
Perhatikan kekurangan
komunikasi atau respon emosional.
c.
Kolaborasi pada ahli psikiatis,
pekerja sosial, rohaniwan.
6.
Perubahan eliminasi urin
berhubungan dengan kelemahan otot dasar kandung kemih.
Intervensi
a.
Kaji pola berkemih, frekuensi
dan jumlah
R/ : Menentukan
intervens sesuia kebutuhan.
b.
Monitor intake dan out put.
R/ : Mengetahui
keseimbangan cairan dalam tubuh.
c.
Kolaborasi dengan pemberian
obat antibiotik.
R/ : Mencegah
resiko infeksi akibat pemasangan kateter.
III. Evaluasi
1.
Diagnosa resiko pola napas tak
efektif.
a.
Pola napas paten
b.
Jalan napas bersih
2.
Diagnosa resiko cedera
Klien tidak ada memar ataupun cedera
3.
Diagnosa kerusakan mobilitas
fisik
Klien dapat melakukan ADL, bantuan minimal.
4.
Diagnosa perubahan sensori
persepsi
Klien tidak mengalami gangguan dalam sensori persepsi
5.
Diagnosa berduka
Klien dapat menerima keadaannya dan berpartisipasi dalam
kegiatan penyembuhan .
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar
Ortopedik dan Fraktur. Jakarta
: Widya Medika.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan
Medikal-Bedah. Jakarta
: EGC.
Doenges, Marylinn, 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta
: EGC.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi.
Jakarta : EGC.
Tucker, Susan Martin.1999. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta
: EGC.
Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah.
Bag 2. Jakarta
: EGC.
Hallo.... salam kenal mbak.
BalasHapusSaya seorang paraplegia dari tahun 1999. Artikelnya sangat bermanfaat dan menambah pengetahuan sy mengenai tulang belakang. Saya juga sedang belajar menuliskan pengalaman ke dalam sebuah blog http://paraplegia.web.id. Mohon koreksi untuk apa yang telah saya tulis.
Salam,
(y)
BalasHapus