Senin, 24 Oktober 2011

Cidera Medula Spinalis dan Paraplegia

A.    Konsep Dasar

I.       1. Pengertian Paraplegia

Paraplegia yaitu akibat lesi yang mengenai lumbal torakal atau bagian sokral medula spinalis dengan disfungsi ekstremitas bawah defekasi dan berkemih.
Paraplegia yaitu penderita cedera pada medula spinalis torakal, lumbal dan sokral (Prico, 1995 : 1021).
2.   Anatomi dan Fisiologi
a.       Anatomi
Yang disebut tulang belakang di dalam tubuih kita yaitu susunan tulang yang terbentang dari ruas tulang leher pertama (C1) hingga tulang ekor ke-4 (C4). Tulang-tulang tersebut terdiri dari kelompok ruas tulang yang terbagi menjadi :
-          7 buah tulang servikal
-          12 buah tulang torakal
-          5 buah tulang lumbal
-          5 buah tulang sokral
-          4 buah tulang koksigues.
b.      Fisiologi
Lesi medula spinalis diklasifikasikan sebagai :
1.      Lesi komplit             : yaitu kehilangan sensasi dan fungsi mekanik volunter total.
2.      Lesi tidak komplit    : yaitu kehilangan sensai dan fungsi mekanik volunter.
Mekanisme cedera pada daerah ini umumnya merupakan cedera freksi akibat terjatuh pada bagian bokong atau cedera hiperekstensi dimana keduanya menyebabkan fraktur kompresi :
Untuk membuat korpus vertebra torakalis mengalami fraktur diperlukan suatu pukulan langsung yang kuat, kecuali jika sebelumnya vertebra memang sudah rapuh karena diserang oleh osteoporosis atau neoplasma.
Temuan fisik akan bervariasi, tergantung pada tingkat cedera, derajat syok spinal dan fase serta derajat pemeriksaan :
C1-3      :  Kehilangan fungsi pernapasan/sistem muskuloskletal.
C4-5      :  Dengan kerusakan menurunya kapasitas paru ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari.
C6-7      :  Dengan beberapa gerakan tangan dan lengan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian aktivitas sehari-hari.
C8        :  Keterbatasan menggunakan jari tangan. Meningkatkan kemandiriannya.
C1-L1   :  Paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dan otot intercostal dan abdomen masih baik.
L1-2      :  dan/atau dibawahnya : kehilangan fungsi motorik dan sensorik. Kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

II.    Cedera Medula Spinalis

1.      Pengertian Cedera Medula Spinalis
Cedera medula spinalis sekunder terjadi karena gerakan kolumno vertebralis yang tidak stabil : cedera yang terjadi adalah akibat gerakan medula spinalis terhadap fragmen tulang tajam yang menonjol dalam kanalis vertebralis dan akibat tekanan yang terus menerus pada medula spinalis (Price, 1995 : 1020).
2.      Etiologi
a.       Kongenital
b.      Infeksius
c.       Trauma
d.      Vaskular
e.       Idiopatik
f.       Degeneratif
3.      Patofisiologi
Kolumna vertebralis merupakan cincin tulang sirkumferensial yang memberi perlindungan ideal terhadap luka tembus dan kontusio kecepatan rendah, tetapi sendi-sendi intervertebralis merupakan titik lemah gerakan fleksi ekstensi atau beban rotasi. Menurut (Scwartz, 1989), dislokasi dan fraktur yang tidak mematahkan cincin vertebralis, masih memungkinkan vertebra di atas dan di bawah tempat cedera bertindak sebagai titik pengungkit bagi vertebra dan menyebabkan jaringan lunak yang berdekatan mengalami konkusio, teregang, kontusio atau gangguan medula spinalis.
Beban fleksi, ekstensi dan rotasi bersama dengan kelemahan relatif sendi-sendi vertebra, menyebabkan fraktur dan dislokasi seringkali terjadi pada titik pertemuan antara bagian kolumna vertebralis yang relatif mobil dengan ruas yang relatif terfiksasi, yaitu antara daerah servikal bawah dan segmen lumbal atas; dan antara segmen lumbal bawah dan sakrum (Schwartz,1989).

Bagan Patofisiologi Paraplegia dan Ulkus Dekubitus Akibat Cedera Medula Spinalis
Sirkulasi darah ke substansia grisea medula spinalis terganggu

Menyebabkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi hemoragi


 

Kerusakan mielin dan akson

Tubuh berada pada suatu gradien
 

Tekanan immobilisasi yang lama

Jaringan otot, suplai darah bergeser ke arah yang lebih rendah
 

Friksi meningkat

Terjadi kelembaban pada kulit

Pada daerah yang mengalami tekanan menyebabkan peregangan dan mikrosirkulasi

Terjadi iskemia pada jaringan

Berlanjut ke nekrosis pada kulit

Dikembangkan dari Smeltzer (2001) dan Nancy (2002)

4.      Manifestasi Klinis
-          Gangguan fungsi motorik dan sensorik ekstremitas
-          Gangguan fungsi bladder dan bowel
-          Gangguan fungsi seksual
-          Gangguan peredaran darah di bawah
Perubahan primer yang terjadi setelah cedera medula spinalis adalah perdarahan kecil dalam substansia glisea akibat berkurangnya aliran darah medula spinalis dan hipoksia yang diikuti oleh edema. Hipoksia substansia grisea merangsang pelepasan katekolamin yang mendukung perdarahan dan nekrosis dan menyebabkan disfungsi medula spinalis lebih lanjut.
Apabila medula spinalis putus total, dua bencana fungsional akan terlihat :
(1)    Semua aktifitas voluntar pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh segmen-segmen medula spinalis tersebut akan hilang selamanya.
(2)    Semua sensasi yang tergantung pada integritas lintasan asendens medula spinalis akan hilang.
(Price, 1995 : 1020)
5.      Komplikasi
Pada klien yang tirah baring lama dapat menimbulkan gangguan sistem ke dalam tubuh, antara lain :
a.       Sistem gastrointestinal
-          Sel-sel tubuh malas (aktifitas berkurang)
-          Sekresi menurun
b.      Sistem urinari
- sistem pembentukan urin lambat sampai ke blass. Oleh karena tidak ada gerakan gravitasi sehingga kristal menumpuk (batu) apalagi kalau terjadi renal kalkuli.
c.       Sistem Integumen
-          Tekanan arteri 35 mmHg bila > 35 akan menimbulkan hambatan pembuluh darah balik.
-          Arteri tidak mendapat suplai O2 maka metabolisme terganggu sehingga timbul iskemik menjadi nekrosis maka akan terjadi dekubitus. Klasifikasi ada 4 grade :
1.      Grade I terbatas di kulit
2.      Grade II subkutis
3.      Grade III otot
4.      Grade IV tulang
Lokasi tergantung dari posisi tidur, daerah yang mudah mendapat dekubitus.
-          Head, skapula, elbow, trokanter, ischias, crista iliaka, sakrum tibia.
6.      Pemeriksaan Diagnostik
-          Sinar X spinal      : menentukan lokasi dan jenis cedera
-          CT-Scan               :  menentukan tempat luka/jejas
-          MRI                     :  mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal edema dan kompresi
-          Mielography        :  memperlihatkan kolumna spinal (kana vertebra) jika faktor patofis tidak jelas atau dicurigai adanya oklusi pada ruang subarachnoid medula spinalis.
-          Foto Rontgen      :  memperlihatkan keadaan paru
-          DGA                    :  menunjukkan keefektifan pertukasan gas atau upaya ventilasi.
7.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sebelum penderita masuk RS harus dilakukan seolah-olah penderita ini mengalami cedera medula spinalis.
Penderita dengan cedera setinggi C4 atau lebih tinggi tidak dapat bernapas spontan. Perasat jaw thrust dirancang untuk memperkecil gerakan leher sewaktu dilakukan resusitasi. Prioritas utamanya adalah mengadakan jalan udara yang efektif.penderita lebih besar terhadap komplikasi sirkulasi yang diakibatkan oleh sistem saraf simpatik. Immobilitas medula spinalis merupakan tindakan penting untuk mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.
Untuk mengatasi edema adalah dengan pendinginan ruang intratekal dengan larutan salin normal. Pengobatan primer pada cedera servikalis adalah reduksi dan stabilisasi fraktur.


B.     Asuhan Keperawatan Klien dengan Paraplegia dan Cidera Medula Spinalis

I.          Pengkajian

1.      Identitas klien
2.      Riwayat perawatan
3.      Observasi dan pemeriksaan fisik
a.       Aktifitas/istirahat     : Kelumpuhan, kelemahan umum.
b.      Sirkulasi                   : Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi atau bergerak.
c.       Eliminasi                  : Inkontinensia defekasi dan berkemih.
d.      Integritas ego           : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah, cemas.
e.       Makanan/cairan        : Distensi abdomen, peristaltik usus hilang.
f.       Neurosensori            : Kebas, kesemutan, kehilangan sensori.
g.      Nyeri/kenyamanan   : Nyeri, tekanan otot mengalami deformitas postur, nyeri tekan verbal.
h.      Pernapasan               : Dangkal, bunyi napas; ronki, pucat, sianosis suhu yang berfluktuatif.
i.        Seksualitas               : Ereksi tidak terkendali.

II.       Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1.      Resiko tinggi terhadap pola napas tak efektif
Intervensi :
a.       Pertahankan jalan nafas, tinggikan sedikit kepala TT
R/     : Trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah, batuk akan membutuhkan bantuan mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan keluar.
b.      Penghisapan bila perlu
R/     : Reflek batuk tidak ada jadi batuk tidak efektif. Penghisapan dibutuhkan untuk membuang lendir.
c.       Kaji fungsi pernapasan
d.      Auskultasi
2.      Resiko tinggi terhadap trauma (cidera spiral tambahan) 
Intervensi :
a.       Pertahankan tirah baring dan alat-alat nmobilisasi
R/     : Menjaga kelestarian kolumna vertebralis dan membantu proses penyembuhan.
b.      Periksa alat-alat untuk meyakinkan bahwa aman
c.       Periksa pemberat untuk menarik troksi.
3.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, mobilisasi dan troksi
Intervensi :
a.       Kaji fungsi motorik
R/     : Mengevaluasi keadaan secara umum
b.      Berikan suatu alat agar pasien mampu menerima pertolongan
R/     : Pasien memiliki rasa aman dan dapat mengatur diri sendiri.
c.       Bantu latihan ROM pada semua ekstremitas
4.      Perubahan sensori-persepsi berhubungan dengan traktus sensori, transmisi integrasi penurunan rangsang lingkungan,  stress psikologis.
Intervensi :
a.       Kaji fungsi sensori
R/     : Mendokumentasikan perubahan yang terjadi.
b.      Lindungi dari bahaya tubuh
R/     : Pasien tidak merasa nyeri atau tidak sadar tentang posisi tubuh.
c.       Berikan rangsangan toksil, seluruh pasien pada area dengan sensori sentuh.
d.      Perhatikan adanya respon emosional berlebihan.
5.      Antisipasi berduka berhubungan dengan kehilangan yang dirasakan/ aktual tentang kesejahteraan fisik psikologisnya.
Intervensi :
a.       Identifikasi tanda-tanda berduka
R/     : Mengalami banyak reaksi emosional terhadap cedera.
b.      Perhatikan kekurangan komunikasi atau respon emosional.
c.       Kolaborasi pada ahli psikiatis, pekerja sosial, rohaniwan.
6.      Perubahan eliminasi urin berhubungan dengan kelemahan otot dasar kandung kemih.
Intervensi
a.       Kaji pola berkemih, frekuensi dan jumlah
R/     : Menentukan intervens sesuia kebutuhan.

b.      Monitor intake dan out put.
R/     : Mengetahui keseimbangan cairan dalam tubuh.
c.       Kolaborasi dengan pemberian obat antibiotik.
R/     : Mencegah resiko infeksi akibat pemasangan kateter.

III.    Evaluasi

1.      Diagnosa resiko pola napas tak efektif.
a.       Pola napas paten
b.      Jalan napas bersih
2.      Diagnosa resiko cedera
Klien tidak ada memar ataupun cedera
3.      Diagnosa kerusakan mobilitas fisik
Klien dapat melakukan ADL, bantuan minimal.
4.      Diagnosa perubahan sensori persepsi
Klien tidak mengalami gangguan dalam sensori persepsi
5.      Diagnosa berduka
Klien dapat menerima keadaannya dan berpartisipasi dalam kegiatan penyembuhan . 



DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedik dan Fraktur. Jakarta : Widya Medika.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC.
Doenges, Marylinn, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Tucker, Susan Martin.1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah. Bag 2. Jakarta : EGC.





2 komentar:

  1. Hallo.... salam kenal mbak.
    Saya seorang paraplegia dari tahun 1999. Artikelnya sangat bermanfaat dan menambah pengetahuan sy mengenai tulang belakang. Saya juga sedang belajar menuliskan pengalaman ke dalam sebuah blog http://paraplegia.web.id. Mohon koreksi untuk apa yang telah saya tulis.

    Salam,

    BalasHapus